Rabu, 04 Januari 2012

AKULAH DIA


Akulah perempuan itu
Perempuan yang selalu menunggu datangnya hujan di tengah gurun
Perempuan yang selalu menunggu kereta di tengah samudra
Perempuan yang tak lelah menanti  mentari berpendar di tengah salju
Perempuan yang tak lelah menanti candra ketika tilem
Perempuan yang tak henti menelisik jarum di tengah jerami
Perempuan yang tak henti menghitung jelaga di kedua jemarimu
Akulah dia…
Dia …
Si perempuan yang tak pernah menyulutkan api di tengah hujan

Ayu Putri Puspita'2012

Selasa, 03 Januari 2012

Bunga Pucuk Bang, penyebab kebingungan masyarakat


        Pada zaman dahulu diceritakan di sebuah desa hiduplah masyarakat yang taat melakukan upacara keagamaan. Masyarakat beraliran Hindu memercayai bahwa kehidupan masyarakat akan harmonis jika dilaksanakan upacara keagamaan berupa piodalan (upacara pemujaan terhadap Tuhan dengan mengaturkan sesaji). Piodalan yang jatuh setiap enam bulan sekali pada hari Buda Umanis Julungwangi (Rabu Umanis) ini merupakan upacara kebesaran yang dinanti-nanti masyarakat. Suatu ketika tepat di hari perayaan piodalan yang dirayakan di pura Pucak Manik Desa Adat Petang, pelaksanaan piodalan terbesar yang disebut dengan karya padudusan agung lan mendem pedagingan ini dihadiri oleh seluruh warga desa dan warga desa seberang  yang konon katanya mendapat undangan untuk menghadiri upacara piodalan tersebut.
Ketika piodalan (upacara keagamaan masyarakat hindu di pura berupa persembahyangan bersama dengan menggunakan sesaji/persembahan sesuai tingkatan tertentu) di Pura Pucak Manik, Desa Adat Petang ini berlangsung, seorang pemedek (orang yang datang untuk sembangyang ke pura) laki-laki dengan gagah akan tangkil (sembanhyang ke pura) menggunakan  hiasan di telinganya berupa bunga pucuk bang (bunga kembang sepatu berwarna merah). Laki-laki itu begitu gagah dengan kepercayaan dirinya menggunakan bunga itu sebagai hiasan di telinganya. Alhasil, pemedek tersebut mengalami suatu kejadian yang sangat aneh. Ketika hendak ke pura, seperti biasa pemedek harus melalui jalan umum di dekat pasar Petang. Setelah memasuki jalan ke arah timur di depan pasar, pemedek itu tidak menemukan jalan menuju pura. Pemedek  tersebut berputar-putar mengelilingi jalan dekat pura hingga ada orang yang menyadari bahwa orang itu tengah kebingungan. Setelah ditanyakan, pemedek tersebut ternyata akan sembahyang ke Pura Pucak Manik. Sekian lama diperhatikan, ternyata pemedek  itu menggunakan bunga pucuk bang di daun telinganya. Bunga tersebut merupakan bunga yang tidak diperbolehkan untuk digunakan ketika ke Pura Pucak Manik.  Penduduk desa meyakini sebuah kepercayaan bahwa masyarakat tidak boleh menggunakan bunga pucuk bang (bunga kembang sepatu yang berwarna merah) sebagai sarana persembahyangan maupun hiasan yang dikenakan dibagian sanggul untuk perempuan maupun di daun telinga untuk laki-laki.
Konon, bunga tersebut merupakan bunga yang dikenakan di mahkota Ida Betara (manifestasi Tuhan dalam wujud barong) yang menjadi penghias di bagian atas mahkota. Masyarakat memercayai bahwa bunga yang dijadikan mahkota tersebut merupakan bunga kebesaran bagi masyarakat di Desa Petang. Kejadian yang dialami pemedek tersebut diyakini bahwa pemedek tersebut tidak mengindahkan larangan yang dipercayai masyarakat sehingga ia mengalami kejadian seperti kebingan dan tidak tau arah menuju Pura Pucak Manik.
Kejadian di ataslah yang  menjadi penyebab masyarakat memercayai bahwa penggunaan bunga pucuk bang  ketika sembahyang ke Pura Pucak Manik dilarang.

-I Gusti Ayu Putri Puspita Sari/ 0912011004-