Pada zaman dahulu diceritakan di sebuah
desa hiduplah masyarakat yang taat melakukan upacara keagamaan. Masyarakat beraliran
Hindu memercayai bahwa kehidupan masyarakat akan harmonis jika dilaksanakan
upacara keagamaan berupa piodalan (upacara pemujaan terhadap Tuhan dengan
mengaturkan sesaji). Piodalan yang
jatuh setiap enam bulan sekali pada hari Buda
Umanis Julungwangi (Rabu Umanis) ini merupakan upacara kebesaran yang
dinanti-nanti masyarakat. Suatu ketika tepat di hari perayaan piodalan yang dirayakan di pura Pucak
Manik Desa Adat Petang, pelaksanaan piodalan terbesar yang disebut dengan karya padudusan agung lan mendem pedagingan ini
dihadiri oleh seluruh warga desa dan warga desa seberang yang konon katanya mendapat
undangan untuk menghadiri upacara piodalan
tersebut.
Ketika piodalan (upacara keagamaan masyarakat
hindu di pura berupa persembahyangan bersama dengan menggunakan
sesaji/persembahan sesuai tingkatan tertentu) di Pura Pucak Manik, Desa Adat
Petang ini berlangsung, seorang pemedek
(orang yang datang untuk sembangyang ke pura) laki-laki dengan gagah akan tangkil (sembanhyang ke pura) menggunakan
hiasan di telinganya berupa bunga pucuk bang (bunga kembang sepatu
berwarna merah). Laki-laki itu begitu gagah dengan kepercayaan dirinya
menggunakan bunga itu sebagai hiasan di telinganya. Alhasil, pemedek tersebut mengalami suatu
kejadian yang sangat aneh. Ketika hendak ke pura, seperti biasa pemedek harus melalui jalan umum di
dekat pasar Petang. Setelah memasuki jalan ke arah timur di depan pasar, pemedek itu tidak menemukan jalan menuju
pura. Pemedek tersebut berputar-putar mengelilingi jalan
dekat pura hingga ada orang yang menyadari bahwa orang itu tengah kebingungan.
Setelah ditanyakan, pemedek tersebut
ternyata akan sembahyang ke Pura Pucak Manik. Sekian lama diperhatikan,
ternyata pemedek itu menggunakan bunga pucuk bang di daun
telinganya. Bunga tersebut merupakan bunga yang tidak diperbolehkan untuk digunakan
ketika ke Pura Pucak Manik. Penduduk desa
meyakini sebuah kepercayaan bahwa masyarakat tidak boleh menggunakan bunga pucuk bang (bunga kembang sepatu
yang berwarna merah) sebagai sarana persembahyangan maupun hiasan yang
dikenakan dibagian sanggul untuk perempuan maupun di daun telinga untuk
laki-laki.
Konon, bunga tersebut
merupakan bunga yang dikenakan di mahkota Ida
Betara (manifestasi Tuhan dalam wujud barong) yang menjadi penghias di
bagian atas mahkota. Masyarakat memercayai bahwa bunga yang dijadikan mahkota
tersebut merupakan bunga kebesaran bagi masyarakat di Desa Petang. Kejadian
yang dialami pemedek tersebut
diyakini bahwa pemedek tersebut tidak
mengindahkan larangan yang dipercayai masyarakat sehingga ia mengalami kejadian
seperti kebingan dan tidak tau arah menuju Pura Pucak Manik.
Kejadian di ataslah
yang menjadi penyebab masyarakat
memercayai bahwa penggunaan bunga pucuk
bang ketika sembahyang ke Pura Pucak
Manik dilarang.
-I Gusti Ayu Putri
Puspita Sari/ 0912011004-